Surabaya - Dalam memperingati Hari
Kartini Bidang Immawati IMM Allende berkolaborasi dengan Immawati dan RPK
Al-Qossam menyelenggarakan Diskusiwati dengan tema “Binar Jiwa
Merengkuh Jelita: Special of Kartini Day.” Acara ini didorong sebagai ruang refleksi dan
diskusi terbuka bagi perempuan, untuk mengeksplorasi konsep kecantikan dalam
kehidupan sehari -hari.
Acara ini diadakan pada hari Senin
(21/5) di salah satu ruangan di Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Dengan latar belakang Hari Kartini, identik dengan perjuangan perempuan,
kegiatan ini adalah forum untuk mempertanyakan kembali konstruksi sosial
kecantikan dan dampaknya pada kehidupan sehari -hari bagi perempuan.
Diskusi dimulai dengan pembagian
sticky note kepada semua peserta. Mereka diminta untuk menulis pendapat pribadi
tentang pertanyaan utama: “Cantik, sebuah pujian atau pelecehan?” Sticky
note yang telah terisi kemudian ditempelkan pada lantai tengah ruangan. Suasana
lebih hangat ketika satu per satu pendapat mulai dibacakan di depan peserta
lainnya.
Dari banyaknya pendapat yang masuk,
ada tiga kategori utama. Kelompok yang menganggap "cantik" sebagai
bentuk pelecehan, kelompok yang menganggapnya sebagai pujian, dan kelompok
-kelompok yang secara realistis menilai sesuai dengan situasinya.
Peserta yang berada dalam kategori
pelecehan menyampaikan bahwa kata "cantik" kadang menjadi sumber
ketakutan tersendiri, karena sering kali diikuti dengan komentar yang mengarah
pada catcalling. Kalimat seperti “mau ke mana sok cantik” menjadi contoh
nyata bagaimana pujian bisa berubah menjadi tekanan sosial dan bahkan
intimidasi.
Peserta dalam kategori pelecehan
mengatakan kata "cantik" bisa menjadi sumber ketakutan, karena sering
kali diikuti dengan komentar yang mengarah pada catcalling. Kalimat
seperti “Mau ke mana? Sok cantik banget sih.” menjadi contoh konkret bagaimana
pujian dapat menjadi tekanan sosial dan intimidasi.
Sementara itu, beberapa peserta
memandang kata "cantik" sebagai pujian yang tulus, tergantung pada
siapa dan bagaimana itu disampaikan. Yang lain berpendapat bahwa label cantik
dapat memiliki makna ganda - itu bisa membahagiakan, tetapi juga dapat berubah
menjadi beban tergantung pada konteks dan penerimaan individu.
Diskusi semakin menarik saat dibahas
tentang respons terhadap catcalling. Ada perempuan yang memilih untuk cuek dan
mengabaikan, namun tak sedikit pula yang merasa perlu merespons, baik dengan
menegur maupun menunjukkan ketidaknyamanan. Ini menunjukkan bahwa ketika
menafsirkan pengalaman yang sama, masing -masing individu memiliki perspektif
yang berbeda.
Sebagai penutup, di akhiri dengan
kesimpulan bahwa tidak ada jawaban mutlak apakah "cantik" itu pujian
atau pelecehan. Itu semua tergantung pada perspektif dan konteks. Seperti yang
dinyatakan dalam kalimat terakhir dari kegiatan ini: “Cantik itu sifat,
menjadi cantik adalah sebuah pilihan, bukan tuntutan.”
Diskusi ini mengajak peserta untuk
mengenal diri mereka sendiri, menerima diri mereka sendiri, dan mencintai diri
mereka sendiri tanpa menyerah pada standar kecantikan yang dibentuk oleh
masyarakat. Self-love tidak perlu
ditekan oleh sosial. Justru, dari ruang diskusi sederhana ini, tumbuh
keberanian untuk menilai diri bukan dari apa kata orang lain, tapi dari hati
yang merdeka.
Acara ini menjadi pengingat bahwa
Hari Kartini bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi juga tentang
bagaimana perempuan masa kini terus bergerak, berpikir, dan menyuarakan
dirinya—dengan cara yang reflektif dan penuh makna.
Author : Dewi Nur Laili Huriono
Editor : Khoirun Nisa'
Komentar
Posting Komentar